Advertisemen
Dan mengguncang-guncang sebuah alat musik artifisial seraya bernyanyi ku rasa bukanlah pilihan yang menyenangkan bagi anak itu. Mungkin saja karena di tempat tinggal anak itu – kita tidak bisa memastikan apakah ”berbentuk” rumah atau tidak – sedang terbaring saudara2nya yg kelaparan, atau sakit, atau bahkan sudah meninggal karena kelaparan, sehingga hanya itu yang bisa dilakukan anak itu.
Ada yang mencoba ”menunjuk batang hidung” negara seraya mengkritik, ada juga yang menyalahkan anak itu, atau keluarga anak itu, yang tak mau berusaha dalam hidup. Bahkan sepertinya ada juga yang tidak merasa ada kejanggalan dalam pemandangan seperti itu..na’udzubillahi min dzalik..
Terlepas dari perdebatan siapa yang salah, ada ibroh yang barangkali terlupa oleh kita. Ada bayangan adikku dalam pemandangan itu. Mungkin karena seumuran dengan adik kandungku. Dan dengan berandai-andai pertanyaan2 pun berebut muncul.
”kenapa bukan adikku yang jadi anak itu?”
”apa yg akan kulakukan jika itu adikku?”
”seberapa menderitanya dia jika dia adalah adikku?”
”sanggupkah aku melihat adikku seperti itu?”
Pertanyaan2 itu membuat aku tehenyak, tertegun. Aku merasa menjadi orang yang paling beruntung. Dan merasa harus melakukan apa pun kelak untuk memperbaiki kesejahteraan orang2 seperti anak itu. Bersyukur. Anak itu langsung menjadi motivasi yang luar biasa, sehingga semangat ini kembali bugar.
Memang negara ini negara kaya, bahkan kaya dengan anak2 seperti anak itu. Kaya dengan hal2 yang kurang kita setujui. Namun, jadikanlah semua ini menjadi motivasi.
Dan kami memang saperti kata Sheila On 7 : ”Generasi Patah Hati”, tapi ingat, bukan generasi patah arang!!
Advertisemen